Selasa, 09 Mei 2017

Usia 0-6 bulan, Berikan ASI saja, jangan Pisang


Brebes  – Pemberian pisang pada bayi baru lahir dapat mengakibatkan bayi sembelit. Bahkan dapat berakibat fatal, yakni menyebabkan kematian bayi.
Demikian disampaikan oleh Adi Assegaf, saat masih menjadi fasilitator Program Keluarga Harapan (PKH) pada Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2) dirumah Sarpiah Desa Kupu RT 10/16, kemarin.
“ASI Ekslusif merupakan salah satu hak anak, yang harus dipenuhi oleh seorang ibu. Diberikan dari usia 0 sampai 6 bulan tanpa diberi makanan pendamping lainnya,” kata Adi.
Menurut Adi, pemberian pisang pada bayi baru lahir bukanlah tindakan yang benar. Sebab ukuran lambung bayi pada pertama kelahiran adalah sebesar kelereng, hanya muat 5-7 ml ASI sekali minum.
Kemudian tiga hari setelah lahir ukuran lambung bayi membesar sebesar bola bekel. Mampu diisi sekitar 27-30ml ASI, sedangkan pada hari ke 7 -10 lambung bayi sebesar bola pimpong, Jadi ASI saja sudah cukup.
Namun pada kenyataan, masih menurut Adi, dilapangan masih banyak ditemui ibu-ibu peserta PKH yang masih memberikan pisang pada bayinya yang baru lahir. Karena hal ini merupakan suatu kebiasaan turun temurun dari neneknya.
Seperti dikatakan oleh Sutirah (35) salah satu peserta PKH. Bahwa pemberian pisang merupakan warisan dari orang tua dan neneknya.
“Saya memberikan pisang pada anak setelah lahir, karena itu kebiasaan dari orang tua saya, katanya biar tinja bayi tidak mencret nantinya,“ tuturnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Kamilah (30). Dia mengaku, anaknya sudah diberi pisang pada saat lahir. Karena, jika tidak diberi pisang anaknya sering rewel dan nangis terus.
Kegiatan berlangsung sejak pukul 14.00 hingga 16.00 Wib. Para peserta terlihat sangat antusias mengikuti Sesi ASI Ekslusif. Mengakhiri kegiatan, mereka diputarkan film tentang ASI Ekslusif dan IMD. (AA)

Perpustakaan RI Gelar Safari Gemar Membaca

Safari Gerakan Gemar Membaca Aula Pendopo Kabupaten Brebes

Brebes – Minat baca masyarakat di indonesia masih sangat memprihatinkan, berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 Negara soal minat membaca.
Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Untuk itulah Pemerintah Republik Indonesia melalui Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, dan seluruh Kepala Dinas Kearsipan Dan Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten se Indonesia, melakukan Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca Di Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2017.
Kegiatan Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca mengusung tema, Implementasi Revolusi Mental Melalui Gerakan Nasional Gemar Membaca Dalam Rangka Meningkatkan Indeks Kegemaran Membaca Masyarakat digelar diaula pendopo Kabupaten Brebes, Jum’at (5/5).
Dalam Sambutannya Kepala Perpustakaan Nasional RI Drs. Muh. Syarif Bando MM, mengatakan, Kegiatan ini tidak lain adalah untuk menanamkan rasa cinta ke perpustakaan dan budaya membaca.
” Kita harus tahu, bahwa perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah belanda, para tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta dan banyak tokoh yang lain mereka tidak segan mengumpulkan senjata, harta tetapi justru mereka masuk ke dalam dunia ide dengan membaca dan dengan pengetahuan itulah mereka mampu mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini,” katanya.
Masih menurut Syarif, Perpustakaan intinya adalah bagaimana membaca dengan baik, bagaimana bisa memahami apa yang kita baca, bagaimana kita bisa mengimplementasikan apa yang kita baca dan bagaimana kita bisa bangkit setara dengan bangsa-bangsa yang lain.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi X DPR RI Drs. Abdulah Fikri Faqih, MM, mengatakan, dengan gemar membaca buku, maka akan terbuka wawasan kita karena buku merupakan jendela dunia.
“ Biasanya, orang yang tidak banyak baca, dekat dengan kebodohan, dan kebodohan dekat sekali dengan kemiskinan”. katanya.
Fikri juga menambahkan, dengan membaca diharapkan bisa menaikkan IPM kita, karena salah satu indikatornya adalah Pendidikan, dimana kasus buta aksara kita juga masih banyak.
” Selain itu, dengan membaca buku tentu kita bisa tahu sumbernya, sedangkan bila kita membaca hanya lewat media sosial atau melalui mesin pencarian di internet tentunya sangat berbeda. Apalagi media sosial kita sekarang ini lebih banyak menyajikan informasi yang hoax, yang bisa memecah persatuan dan kesatuan bangsa kita,” tambahnya.
Salah satu peserta Ahmad Fatoni dari SMA 1 Bulakamba, mengatakan kepada narasumber, bahwa sangat susah untuk membudayakan membaca pada anak didik kita.
” Perpustakaan di sekolah kami, boleh dibilang sudah sangat lengkap, namun hanya sedikit anak saja yang datang ke perpustakaan. Oleh karena itu kalo boleh saya mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Brebes, untuk menggugah minat baca para anak – anak kita bagaimana bila setiap HUT Kabupaten Brebes diadakan pemilihan Ratu dan Raja Buku Kabupaten Brebes dan Duta Buku untuk Kabupaten Brebes,” Tandasnya. (AA)

Bersama Mangrove, Lestari Alamku, Lestari Bumiku



Salah satu upaya yang biasa dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup, penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan melakukan proses penghijauan melalui program mangrove di lingkungan pesisir.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting tetapi rentan (vulnerable) terhadap gangguan. Karena rentan terhadap gangguan, maka wilayah ini mudah berubah, baik dalam skala temporal maupun spasial. Perubahan di wilayah pesisir dipicu karena adanya berbagai kegiatan, seperti industri, perumahan, transportasi, pelabuhan, budidaya tambak, pertanian dan pariwisata.
Penanaman mangrove di pesisir Pandansari melibatkan banyak pihak. Inilah salah satu kunci keberhasilannya menjadi Kampung Mangrove Percontohan di Indonesia.
Aktivitas manusia dalam menciptakan ruang-ruang terbangun akhirnya sering mengakibatkan masalah didalam ekosistem pesisir. Batasan kawasan terbangun seperti kota pesisir memang harus dilakukan. Namun, perkembangan pemukiman, atau fasilitas lain tersebut harus dibatasi melalui sistem penataan ruang agar perkembangan ruang terbangun dapat terkendali dan arah pengembangan ke arah sepanjang pantai harus dicegah.
Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tinggi namun dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat berkelanjutan.
Kabupaten Brebes, dimana sebagain besar memiliki lokasi pesisir Pantai Utara dengan segala kompleksitasnya, fenomena didalamnya terutama mengenai abrasi telah menggugah perhatian publik untuk berupaya bersama-sama menyelematkannya.
Geografis terletak di bagian paling barat dari Provinsi Jawa Tengah dengan batas sebelah utara Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tegal dan Kota Tegal, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan sebelah barat dengan Wilayah Cirebon.
Secara topografis, wilayah Kabupaten Brebes memiliki potensi daerah pantai yang meliputi Kecamatan Brebes, Kecamatan Wanasari, Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Tanjung dan Kecamatan Losari dengan luas lahan pertambakan 9.970,5 ha, dengan jumlah petani tambak (petambak) sebanyak 4.042 orang.
Luas wilayah Kabupaten Brebes sebesar 1.661,17 km persegi yang terdiri dari sawah seluas 633,53 km persegi dan lahan kering seluas 1.027,64 km persegi. Secara administrasi, Kabupaten Brebes dibagi menjadi 17 kecamatan dan 297 desa/kelurahan.
Sedangkan jumlah desa pantai yang terdapat di Kabupaten Brebes terdiri 20 desa pantai yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Brebes: Desa Kaligangsa, Randusanga Wetan, Randusanga Kulon, Kedungruter, dan Kaliwlingi.
2. Kecamatan Wanasari: Desa Sowojajar dan Pesantunan
3. Kecamatan Bulakamba: Desa Pulogading, Bangsri, Grinting dan Pakijangan
4. Kecamatan Tanjung: Desa Krakahan dan Pengaradan
5. Kecamatan Losari: Desa Limbangan, Karang Dempel, Prapag Kidul, Prapag Lor, Kecipir, dan Pengabean
Topografi pantai Kabupaten Brebes seperti halnya daerah Pantai Utara Jawa lainnya, yaitu memiliki pantai yang landai, ombak relatif kecil dengan arus lemah yang sangat cocok untuk daerah pertambakan.
Secara umum, wilayah pantai Kabupaten Brebes, mulai dari Losari (Desa Prapag Kidul dan Prapag Lor), Teluk Bangsri sampai dengan sekitar muara Sungai Nippon (Desa Sawojajar dan Kaliwlingi) baik digunakan untuk pengembangan konservasi tanaman bakau (mangrove) yang dapat berfungsi untuk pemulihan daya dukung lingkungan.
Salah satu dari Desa di Pesisir Brebes, tepatnya di Dukuh Pandansari Desa Kaliwlingi yang berada di wilayah Kecamatan Brebes, memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan pembelajaran (success story) bagi pemerhati lingkungan hidup, Pemda/Pemkot, para aktivis lingkungan hidup, dimana masyarakatnya memiliki komitmen yang kuat menjadikan kampungnya sebagai kawasan penghijauan mangrovisasi.
Keberhasilan program rehabilitasi mangrove di pesisir Pandansari.
Sisi yang lain, didukung juga dengan adanya komitmen dari Bupati Brebes, Idza Priyanti, SE yang mempunyai tekad dan komitmen dalam rangka perubahan iklim di wilayah Pesisir Pantura Brebes sepanjang 36 km untuk digalakkan penghijauan melalui program Mangrovisasi.
Kenapa demikian (?), karena program ini akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah Pesisir Pantura pada umumnya dan lebih spesifik untuk pemulihan tambak dari bahaya abrasi, hilangnya ikan tangkapan, instrusi air laut, dan banyaknya serangan hama penyakit pada produksi perikanan di tambak akibat tidak tertata dengan baik.
Kampung Pandansari sebagai kawasan mangrove dirintis sejak tahun 2007, oleh sejumlah aktivitis penghijauan, yang dikoordinatori oleh Mashadi, selaku Koordinator IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) Kabupaten Brebes.
Menurutnya, ada berbagai macam tekanan dari berbagai sisi, yaitu kondisi alam, politik, kebijakan, dan ekonomi. Dari sisi tekanan alam, ini dimaksudkan karena tidak dapat menduga perubahan iklim yang ekstrim, abrasi, hilangnya ikan tangkapan, instrusi air laut, dan banyaknya serangan hama sehingga terjadi penurunan hasil produksi.
Dari sisi tekanan politik, ini dimaksudkan walaupun desa terletak di wilayah Kecamatan Perkotaan Brebes, namun Kampung Pandansari terletak agak jauh dari wilayah Kecamatan Kota di Brebes, sehingga jarang sekali para eksekutif dan legislatif mencurahkan programnya ke kampung ini.
Dari sisi tekanan sosial, ini dimaksudkan karena daerah pesisir terkesan marginal, kumuh, dekil, dan masyarakatnya masa bodoh.
Dari sisi tekanan kebijakan, maksudnya adalah bahwa program masih terkesan top down dan tidak bottom upsesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Terakhir, dari sisi tekanan ekonomi, ini dimaksudkan karena berkurangnya mata pencaharian yang disebabkan oleh rusaknya ekosistem dan banyaknya masyarakat yang tidak mau sekolah karena sarana dan prasarana yang jauh dari kenyataan.
Belajar dari tekanan di atas, kemudian para aktivis IPPHTI Kabupaten Brebes yang dikoordinatori oleh Mashadi, mencoba untuk melakukan upaya sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat dengan model membangun komitmen bersama untuk menumbuhkan partisipasi warga agar dapat mengenal permasalahan yang ada, memecahkan bersama, dan menentukan rencana kedepan kampungnya, mau dijadikan apa.
Proses ini memakan waktu hampir satu tahun untuk mengabdikan ilmunya dan pengalamannya guna memulihkan pandangan masyarakat untuk tidak charity. Dari kerja keras dan rasa tanggung jawab yang tinggi, akhirnya IPPHTI bekerja sama dengan Yayasan KEHATI pada tahun 2009 berhasil membantu kawasan Kampung Pandansari menjadi kawasan mangrovisasi.
Program yang diberikan oleh Yayasan KEHATI adalah adaptasi dan mitigasi masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim melalui penguatan Kelompok Mangrove dan Tani Lestari. Untuk Kelompok Mangrove, programnya lebih difokuskan pada rehabilitasi pesisir dan untuk Kelompok Tani Lestari dikhususkan pada bidang pertanian organik atau sekolah lapangan.
Belajar dari pola pemberdayaan yang dibangun oleh Yayasan KEHATI, akhirnya hingga sekarang muncullah dukungan yang nyata dari berbagai pihak, seperti dari keterlibatan NGO dan perguruan tinggi untuk hadir dan memberikan sumbangsih pemikiran dan donasi, serta dukungan bantuan teknisnya kepada kelompok dampingan, seperti dari Lebah Nusantara, GEF – SGP dan Nastari, dari perguruan tinggi: Klinik Tanaman IPB Bogor, UNDIP Semarang – KeSEMaT), kerjasama dengan pihak swasta melalui program CSR (Corporate Social Responsibility) dengan PT. Aplikanusa Lintasartha, Hotel Bumi Karsa Bidakara Group, SMA Cita Buana, dan Djarum Trees For Life dan dari model mandiri, kelompok ini juga telah berhasil melakukan kerjasama dan berjejaring dengan masyarakat pesisir lainnya, baik di wilayah Brebes (Sawojajar, Grinting, Randusanga Kulon dan Bangsri) dan regional Jawa Tengah lainnya, yaitu dengan Kelompok Mangunharjo Semarang dan Bedono Demak, termasuk juga dukungan dari Komunitas Facebook Celoteh Brebes Membangun (CBM).
Komunitas Facebook CBM ini telah dua kali melakukan intervensi di wilayah Kampung Mangrove ini, pertama di bulan Januari 2015 dengan memberikan donasi sebanyak 25.000 batang, dan pada bulan Agustus 2015 sebanyak 17.845 batang. Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan upaya penyelamatan pesisir Pantai Utara yang setiap tahun mengalami pergeseran abrasi, sekaligus gejala mendekatnya intrusi air laut ke wilayah Brebes tengah.
Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok Mangrove dan Tani Lestari, meliputi:
• Program rehabilitasi mangrove 1.000.000 batang (tiga tahun)
• SLPO (Sekolah Lapang Pertanian Organik)
• Penanaman plasma nutfah (1500 batang)
• Pembuatan kompos, asap cair, arang sekam dan Mikro Organisme Lokal (MOL)
• Dialog dengan kebijakan
• Pemetaan partisipatif
• Patroli kawasan perlindungan mangrove
• Penyadaran masyarakat tentang perubahan iklim dan pelestarian hutan mangrove
• Pengelolaan makanan berbahan mangrove
• Pendampingan secara kontinyu dengan Kelompok Mangrove
• Menjadi nara sumber di berbagai kelompok mangrove, baik lokal, regional maupun nasional
Nilai tambah setelah terlaksananya kegiatan dan dukungan dari CSR dan dukungan dari Pemerintah Daerah Brebes, diantaranya adalah terjadinya peningkatan pada usaha ekonomi lokal masyarakat Pandansari, dimana mereka mampu untuk membuat berbagai produk, antara lain:
1. Pengolahan dari bahan baku buah mangrove
2. Budidaya rumput laut jenis Cottonii
3. Budidaya kerang darah
4. Budidaya keramba kepiting
5. Penghasil padi, tahan dampak air asin
Bibit padi yang dibudidayakan oleh Kelompok Tani Lestari ini, sekarang sudah didistribusikan ke Pemda Ciamis, Pemda Tasik, Pemkot Pekalongan, Pemda Demak, Pemda Semarang dan Pemda Jepara atas permintaan masing-masing pemda.
Nilai tambah lain yang dapat dipelajari dari keberhasilan kelompok ini, antara lain:
1. Masyarakat sadar akan pentingnya ekosistem lingkungan pesisir
2. Terjaganya kawasan hutan mangrove dari kawasan pembalakan liar (illegal logging)
3. Tertanamnya hamparan mangrove sebanyak 30 ha
4. Munculnya biota ekosistem laut yang melimpah
Mimpi kedepan masyarakat Kampung Pandansari ini adalah menjadikan desa ini menjadi desa mandiri pangan, ekowisata, dan mangrove education centre. Semoga mimpi masyarakat bisa terwujud dengan baik.
Bagi masyarakat yang berminat berkunjung atau bekerja sama dengan Kelompok Mangrove Kampung Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes dapat menghubungi Mashadi. HP: 081574809754/087830115765. Email: kanghadi71@gmail.com.